Senin, 14 November 2011

Ruang Kosong

Percuma..semua ini percuma..
Bila..masih ada air mata..
Tak sanggup… sungguh aku tak sanggup…
Bila… masih perih yang kau beri…
Berakhir sudah…atau aku akhiri saja…

Sebuah lagu yang mengalun terasa pas sekali dengan apa yang sedang kurasakan. Yah, mungkin lebih baik semuanya diakhiri. Tak rela memang sebenarnya. Tak rela waktu lebih dari setahun ini terbuang percuma. Tak ikhlas melepas semua kenangan indah yang pernah kami rasa bersama. Kukirimkan pesan singkat ke ponselnya. Aku tak sanggup menyampaikannya secara langsung. Melihat air matanya sudah cukup menyakitkan untukku. Mungkin aku terlihat sebagai pengecut. Tapi, setidaknya menurutku, inilah cara terbaik. Aku tak mampu melihatnya lagi. Aku tahu dia pasti terluka. Sama sepertiku, sangat terluka. Namun aku yakin, tak akan lama baginya untuk dapat menemukan obat bagi lukanya. Bidadariku itu selalu dikelilingi oleh cahaya-cahaya terang. Dan cahayaku selalu tidak cukup terang untuknya.
***


Isi pesan singkat yang kuterima cukup membuatku terhenyak. Aku memang sudah lama memperkirakan kejadian ini. Ternyata, tetap saja mampu membasahi pelupuk mataku. Aku juga tak menyangka kalau ternyata rasanya seperih ini. Sudah lebih dari setahun sejak kami memutuskan untuk berjalan bersama-sama. Hubungan yang cukup aneh, dibandingkan dengan hubungan lain yang dirasakan oleh teman-temanku. Kami jarang sekali bertengkar. Semuanya terlihat biasa-biasa saja. Sebagian temanku bahkan menganggap kami adalah pasangan yang sangat serasi. Saling melengkapi. Iyakah? Aku sendiri tak yakin. Banyak yang ia rahasiakan dariku. Aku seprti tak mampu menembus dinding terdalam yang ada pada dirinya. Selalu berbatas. Dan mungkin saat inilah batas akhirnya.
***
Sudah kuduga, ia pasti menangis dan terus-menerus bertanya. Haruskah kujelaskan semuanya? Sejak awal, hubungan kami memang seperti ada yang tidak beres. Entah kenapa, aku merasa dia tak akan memahami duniaku. Di takkan mampu memasukinya. Kalaupun memaksakan masuk, itu akan melukainya. Seperti bidadari yang selalu berada di tempat yang terang dan bersih. Dia tidak akan mampu masuk ke sana. Terlalu temaram. Dia tidak akan mampu bertahan. Begitupun aku. Tak mampu memasuki dunianya. Meski dia berkali-kali mengajakku. Aku merasa tak mampu. Dia sudah cukup membuatku silau. Tak mungkin aku menyakiti diriku sendiri dengan cahaya-cahaya terang lainnya. Aku lebih menyukai temaram, sedangkan dia menyukai gemerlap.
***
Selama ini kupikir kami akan tetap dapat bertahan. Cara kami memang berbeda. Sifat kami berbeda. Ruang kami pun berbeda. Tapi aku selalu mengingat kata-katanya. “Walaupun ruang kita berbeda, kita punya satu ruang yang sama. Di sana hanya ada kita, bukan orang lain. Ruang kita bersama yang kita ciptakan bersama.” Kemudian, ternyata akhirnya kami melupakan ruang kami itu. Ruang itu hanya ruang kosong yang tidak pernah lagi ditengok. Hanya sekadar persinggahan dan bukan sebagai tempat untuk bertemu, bersenda gurau, dan berbagi cerita. Ruang itu hanya menjadi tanda “kesamaan sementara” kami. Dia tidak pernah mempercayaiku, itu yang membuatnya selalu merasa tertekan. Aku menyayanginya, sungguh. Tetapi kata-kata itu tak akan pernah cukup untuknya. Salahkah aku berada di tengah-tengah cahaya yang gemerlap? Sedangkan dia di sana, dengan temaramnya. Aku ingin berada di dekatnya, selalu. Meskipun akan sulit bagiku, akan kuusahakan. Sekuat tenagaku. Namun, dia hanya pasrah melihat ketidakmampuanku. Berusaha untuk membimbing dan memapahku saja tidak. Padahal aku butuh dia di tengah temaram. Lantas apa yang harus aku lakukan?
***
Akhirnya dia berhenti bertanya. Sudah cukup lelah mungkin. Sama dengan apa yang kurasakan. Lelah luar biasa. Kini kelelahan dan keperihan itu mulai memudar. Berganti dengan pahit. Bagiku, demikianlah hidup. Perpindahan dari satu rasa ke rasa yang lain. Kadang-kadang rasa yang hampir sama dengan ukuran yang berbeda. Atau rasa yang berbeda dengan ukuran yang hampir sama. Namun, rasa bebasku sekarang ternyata melompat lebih tinggi dari rasa perihku.

Aku yang merasakan…
Aku yang menyimpan…
Aku yang tersakiti…
Meski tak kau menyadari…
Akankah waktu 'kan menjawabnya…
(Samsons-Percuma)

8 komentar:

  1. Juna: *ikutan mikir* gue aja bingung knp nulis bgitu, lg ga sadar kayanya pas nulis..hahahaha..

    Hanum: emang dasaaaar anak sastra sejati, gw aja yg nulis bingung, komen lo malah begitu..hahaha.. tp makasih ya Num.. jarang2 anak lingu dipuji sm ank sastra...hahahahha..

    BalasHapus
  2. mbak rienku knapaaaa....
    galau yah... hm sudahi dan melangkah yang pasti aja deh :p

    baca tulisan2 kk g bosen, renyah. dari ati banget kyaknya. jadi ragu mau kasih buku v. yang lebih layak kyaknya tulisan k deh... :)

    BalasHapus
  3. sssttt... ehem.. kenceng banget nih suara ati

    BalasHapus
  4. @Vita: gpp kok..iih, siapa yg lagi galau? itu kan fiksi de.. coba dibaca baik2.. :p

    @Anes: -______- suara hati lo, maksudnya? hahahaha..

    BalasHapus
  5. sebagai sebuah cerita, cerita yang diangkat agaknya kurang kuat dan tidak ada unsur yang memang berisi. hanya saja, sebagai sebuah tulisan, perpaduan antara lirik dan penceritaan cukup unik. perlu ada pendalaman permasalahan dan pengisahan alur yang lebih terarah.

    BalasHapus
  6. Ail: Terima kasih komentarnya, master.. :D

    BalasHapus