Kamis, 26 September 2013

Lalai

Namun tak kaulihat...
Terkadang malaikat..
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...
(Malaikat juga Tahu-Dee)

Aku baru saja selesai melakukan registrasi sebagai pasien salah satu dokter THT di rumah sakit ini. Aku masih perlu menunggu beberapa jam lagi karena dokter baru mulai praktik pukul 9, sekarang masih pukul 7.00. Sengaja aku datang pukul segini karena dokter ini terkenal mempunyai pasien yang sangat banyak hingga perlu mendaftar pagi-pagi sekali untuk bisa dapat antrean menjadi pasiennya hari itu. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi, aku celingak-celinguk. Sial, aku lupa membawa bacaan untuk mengisi waktu sambil menunggu. Tiba-tiba, tak sengaja, aku melihat seorang anak perempuan sedang berdiri di depan papan nama dokter. Matanya terlihat serius sekali memandang nama-nama dokter yang ada di papan berisi nama semua dokter yang berpraktek di rumah sakit ini. Sebentar-sebentar dia memejamkan mata sambil merapal, entah merapal apa. Sepertinya, dia kebingungan untuk memilih dokter yang akan dia pilih. Aku pun menghampirinya.


“Dik, kamu mencari dokter siapa?” tanyaku pelan.
“Eh..” dia menoleh, lalu terkekeh, memamerkan gigi geliginya yang rapi. “Nggak kok Kak... aku cuma lagi baca nama-nama dokter yang ada di papan ini” sahutnya lalu kembali terkekeh.
“Baca?” tanyaku tak percaya.
Dia terkekeh lagi. Tampak agak malu-malu. Tapi kemudian menjawab lagi.
“Aku sedang menghapal nama-nama dokter ini, Kak..” dia tersenyum.
“Hapal? Kamu hapal nama-nama dokter ini?” aku tidak habis pikir kenapa dia melakukan itu, dan yang lebih membuat aku terkejut adalah dia bisa menghapal nama dokter sebanyak ini.
“Iya..” dia tampak agak antusias “Coba deh kakak tes, misalnya, kaka suruh aku sebutin jumlah dokter anak yang ada di sini. Aku hapal, Kak..” dia memamerkan giginya lagi.
“Oh ya?? Kalo gitu, coba ya... ada berapa jumlah dokter kulit di sini?”
“Tiga”
“Dokter anak?
“Enam”
“Dokter gigi?”
“Empat”
“Siapa saja namanya?” aku sengaja memberi pertanyaan yang sedikit sulit, pasti dia tidak bisa menjawabnya.
“Dokter Indra, Dokter Sulis, Dokter Mayang, Dokter Daru”
Aku salah. Ternyata dia mampu menjawabnya. Meski yang dia hapal hanya nama depannya, tapi semua nama dokter itu ia sebutkan sesuai dengan urutan yang tertulis di papan! Aku makin penasaran, aku ajukan kembali pertanyaan kepadanya.
“Dokter Herman itu dokter apa?”
“Dokter spesialis penyakit dalam”
Tak sadar, aku melotot.
“Tunggu, sudah berapa lama kamu berdiri di sini?”
“Sekitar setengah jam yang lalu, Kak..”
“Dan kamu hapal semua ini? Dalam waktu setengah jam?”
Dia terbahak. “Nggaklah Kak... aku nggak secerdas itu kok...”
“Lantas?”
“Ini bukan pertama kalinya aku ke sini dan baca nama-nama dokter di papan ini, Kak..” ia tersenyum, tapi ada semburat sedih di matanya.

Sekarang kami berada di kantin rumah sakit. Anak itu duduk bersamaku di salah satu meja di dekat jendela. Aku tak menyangka, aku bisa secepat ini akrab dengannya. Ia bahkan sudah banyak bercerita kepadaku. Meski juga karena itu aku yang terus bertanya kepadanya. Sejak awal melihatnya, entah mengapa, aku tertarik untuk mengobrol dengannya. Tampak sangat ceria, tetapi juga seperti banyak yang ia sembunyikan.

“Aku dulu nggak suka ke rumah sakit, Kak... Aku nggak suka suasana yang ada di rumah sakit, tata ruangan, bahkan baunya yang khas... Aku nggak suka..” dia tersenyum hambar, kemudian melanjutkan. “Tapi aku juga nggak nyangka, ternyata rumah sakit menjadi tempat yang paling sering kudatangi beberapa bulan terakhir ini,” masih dengan senyum menggantung di wajahnya.
“Demi orang yang kamu sayang kan?”
“Sangat, Kak...” ia tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku membalas senyumnya sambil mengusap-usap bahunya.
Kami pun membahas topik yang lain, kami ternyata memiliki hobi yang sama, jalan-jalan. Kami pun saling berbagi pengalaman dan cerita, bahkan mimpi. Apalagi mimpi seorang pejalan kalau tidak mengunjungi tempat-tempat mempesona di seluruh bumi? Mimpi dan harapan kami seolah membuncah dalam aliran cerita-cerita kami.

Tak terasa, sudah pukul 9.30. Aku harus kembali ke ruang tunggu dokter THT tempat aku akan berobat. Aku baru merasakan dua jam menyenangkan yang baru saja kulalui. Aku melihat arlojiku, ia memperhatikanku.

“Kakak mau ke dokter ya?”
Aku tersenyum, “Iya, dik..”
“Ooooh... kalau gitu, yuk kita kembali ke rumah sakit. Aku juga mau kembali ke kamar perawatan” ucapnya tak lupa dengan senyum menghiasi wajahnya. Tulus sekali.
“Yuk..” jawabku.

Di depan pintu masuk rumah sakit, tiba-tiba dia berhenti.
“Kak, aku lupa, ada yang harus aku beli dulu. Makasih ya Kak tadi udah nemenin aku dan cerita-cerita. Aku senang sekali. Sudah lama sekali rasanya tak bercerita seperti tadi. Biasanya aku selalu cerita ke teman-temanku. Tapi yaa..sekarang kan lagi nggak bisa” dia  terkekeh, matanya berbinar. Aku tahu pasti dia juga merasa dua jam tadi sebagai saat-saat yang menyenangkan. Sama seperti yang aku rasakan.
“Sama-sama, dek.. Oh iya, nama kamu siapa? Kita belum kenalan ya?” aku terbahak.
“Oh iya!” dia berseru seraya terbahak dengan suara yang cukup keras. “Ya ampuuun.. saking senengnya, aku sampe merasa udah lama kenal kakan dan nggak nanya nama kakak,” dia terbahak lagi menertawakan kebodohannya. Kebodohan kami.
“Namaku Tami..” aku mengulurkan tangan.
“Hah?” Dia tampak tak bisa menahan keterkejutannya. “Namaku Mita, Kak” dan langsung terbahak lagi. “Sepertinya di kehidupan lalu, kita bersaudara, kakak beradik..” ujarnya lagi sambil terkekeh.
“Sepertinya begitu..” ujarku juga sambil terbahak. “Makasih juga ya Mita, sudah menemani aku selama dua jam ini. Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng ya?”  
“Insya Allah, Kak...” senyumnya berbinar-binar.
“Kamu jaga kesehatan juga ya, harus kuat!” aku baru saja tersadar ada lingkaran hitam di sekeliling matanya, tanda-tanda kurang tidur.
“Iya, Kak.. Insya Allah.. makasih ya, Kak.. semoga Kakak juga segera sembuh dan ga perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi” ujarnya tak lupa ditambah senyum tulusnya.

Aku melangkah ringan. Jauh lebih ringan dibanding ketika tadi pagi tiba di sini. Tadi, aku berangkat dengan bersungut-sungut karena masih saja ada gangguan di telingaku. Gangguan yang sepertinya berubah menjadi gangguan seluruh tubuhku bahkan hari-hariku. Hanya karena sakit di salah satu bagian tubuhku, aku jadi merasa seperti seluruh tubuhku ikut sakit. Aku tidak bersyukur. Harus kuakui itu. Itulah yang membuatku jadi sebegitu merasa menderita. Aku lupa bahwa bagian tubuhku yang sehat jauh lebih banyak dibandingkan yang sakit. Tersadar, aku pun langsung beristigfar. Terima kasih Mita, sudah menyadarkanku untuk lebih bersyukur.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar