Namun tak
kaulihat...
Terkadang malaikat..
Tak bersayap,
tak cemerlang, tak rupawan...
(Malaikat
juga Tahu-Dee)
Aku
baru saja selesai melakukan registrasi sebagai pasien salah satu dokter THT di
rumah sakit ini. Aku masih perlu menunggu beberapa jam lagi karena dokter baru
mulai praktik pukul 9, sekarang masih pukul 7.00. Sengaja aku datang pukul
segini karena dokter ini terkenal mempunyai pasien yang sangat banyak hingga
perlu mendaftar pagi-pagi sekali untuk bisa dapat antrean menjadi pasiennya
hari itu. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi, aku celingak-celinguk. Sial,
aku lupa membawa bacaan untuk mengisi waktu sambil menunggu. Tiba-tiba, tak
sengaja, aku melihat seorang anak perempuan sedang berdiri di depan papan nama
dokter. Matanya terlihat serius sekali memandang nama-nama dokter yang ada di
papan berisi nama semua dokter yang berpraktek di rumah sakit ini. Sebentar-sebentar
dia memejamkan mata sambil merapal, entah merapal apa. Sepertinya, dia
kebingungan untuk memilih dokter yang akan dia pilih. Aku pun menghampirinya.
“Dik,
kamu mencari dokter siapa?” tanyaku pelan.
“Eh..”
dia menoleh, lalu terkekeh, memamerkan gigi geliginya yang rapi. “Nggak kok
Kak... aku cuma lagi baca nama-nama dokter yang ada di papan ini” sahutnya lalu
kembali terkekeh.
“Baca?”
tanyaku tak percaya.
Dia
terkekeh lagi. Tampak agak malu-malu. Tapi kemudian menjawab lagi.
“Aku
sedang menghapal nama-nama dokter ini, Kak..” dia tersenyum.
“Hapal?
Kamu hapal nama-nama dokter ini?” aku tidak habis pikir kenapa dia melakukan
itu, dan yang lebih membuat aku terkejut adalah dia bisa menghapal nama dokter
sebanyak ini.
“Iya..”
dia tampak agak antusias “Coba deh kakak tes, misalnya, kaka suruh aku sebutin
jumlah dokter anak yang ada di sini. Aku hapal, Kak..” dia memamerkan giginya
lagi.
“Oh
ya?? Kalo gitu, coba ya... ada berapa jumlah dokter kulit di sini?”
“Tiga”
“Dokter
anak?
“Enam”
“Dokter
gigi?”
“Empat”
“Siapa
saja namanya?” aku sengaja memberi pertanyaan yang sedikit sulit, pasti dia
tidak bisa menjawabnya.
“Dokter
Indra, Dokter Sulis, Dokter Mayang, Dokter Daru”
Aku
salah. Ternyata dia mampu menjawabnya. Meski yang dia hapal hanya nama
depannya, tapi semua nama dokter itu ia sebutkan sesuai dengan urutan yang
tertulis di papan! Aku makin penasaran, aku ajukan kembali pertanyaan kepadanya.
“Dokter
Herman itu dokter apa?”
“Dokter
spesialis penyakit dalam”
Tak
sadar, aku melotot.
“Tunggu,
sudah berapa lama kamu berdiri di sini?”
“Sekitar
setengah jam yang lalu, Kak..”
“Dan
kamu hapal semua ini? Dalam waktu setengah jam?”
Dia
terbahak. “Nggaklah Kak... aku nggak secerdas itu kok...”
“Lantas?”
“Ini
bukan pertama kalinya aku ke sini dan baca nama-nama dokter di papan ini, Kak..”
ia tersenyum, tapi ada semburat sedih di matanya.
Sekarang
kami berada di kantin rumah sakit. Anak itu duduk bersamaku di salah satu meja
di dekat jendela. Aku tak menyangka, aku bisa secepat ini akrab dengannya. Ia
bahkan sudah banyak bercerita kepadaku. Meski juga karena itu aku yang terus
bertanya kepadanya. Sejak awal melihatnya, entah mengapa, aku tertarik untuk
mengobrol dengannya. Tampak sangat ceria, tetapi juga seperti banyak yang ia
sembunyikan.
“Aku
dulu nggak suka ke rumah sakit, Kak... Aku nggak suka suasana yang ada di rumah
sakit, tata ruangan, bahkan baunya yang khas... Aku nggak suka..” dia tersenyum
hambar, kemudian melanjutkan. “Tapi aku juga nggak nyangka, ternyata rumah
sakit menjadi tempat yang paling sering kudatangi beberapa bulan terakhir ini,”
masih dengan senyum menggantung di wajahnya.
“Demi
orang yang kamu sayang kan?”
“Sangat,
Kak...” ia tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku
membalas senyumnya sambil mengusap-usap bahunya.
Kami
pun membahas topik yang lain, kami ternyata memiliki hobi yang sama,
jalan-jalan. Kami pun saling berbagi pengalaman dan cerita, bahkan mimpi. Apalagi
mimpi seorang pejalan kalau tidak mengunjungi tempat-tempat mempesona di
seluruh bumi? Mimpi dan harapan kami seolah membuncah dalam aliran
cerita-cerita kami.
Tak
terasa, sudah pukul 9.30. Aku harus kembali ke ruang tunggu dokter THT tempat
aku akan berobat. Aku baru merasakan dua jam menyenangkan yang baru saja kulalui.
Aku melihat arlojiku, ia memperhatikanku.
“Kakak
mau ke dokter ya?”
Aku
tersenyum, “Iya, dik..”
“Ooooh...
kalau gitu, yuk kita kembali ke rumah sakit. Aku juga mau kembali ke kamar
perawatan” ucapnya tak lupa dengan senyum menghiasi wajahnya. Tulus sekali.
“Yuk..”
jawabku.
Di
depan pintu masuk rumah sakit, tiba-tiba dia berhenti.
“Kak,
aku lupa, ada yang harus aku beli dulu. Makasih ya Kak tadi udah nemenin aku
dan cerita-cerita. Aku senang sekali. Sudah lama sekali rasanya tak bercerita
seperti tadi. Biasanya aku selalu cerita ke teman-temanku. Tapi yaa..sekarang
kan lagi nggak bisa” dia terkekeh,
matanya berbinar. Aku tahu pasti dia juga merasa dua jam tadi sebagai saat-saat
yang menyenangkan. Sama seperti yang aku rasakan.
“Sama-sama,
dek.. Oh iya, nama kamu siapa? Kita belum kenalan ya?” aku terbahak.
“Oh
iya!” dia berseru seraya terbahak dengan suara yang cukup keras. “Ya ampuuun..
saking senengnya, aku sampe merasa udah lama kenal kakan dan nggak nanya nama
kakak,” dia terbahak lagi menertawakan kebodohannya. Kebodohan kami.
“Namaku
Tami..” aku mengulurkan tangan.
“Hah?”
Dia tampak tak bisa menahan keterkejutannya. “Namaku Mita, Kak” dan langsung
terbahak lagi. “Sepertinya di kehidupan lalu, kita bersaudara, kakak beradik..”
ujarnya lagi sambil terkekeh.
“Sepertinya
begitu..” ujarku juga sambil terbahak. “Makasih juga ya Mita, sudah menemani
aku selama dua jam ini. Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng ya?”
“Insya
Allah, Kak...” senyumnya berbinar-binar.
“Kamu
jaga kesehatan juga ya, harus kuat!” aku baru saja tersadar ada lingkaran hitam
di sekeliling matanya, tanda-tanda kurang tidur.
“Iya,
Kak.. Insya Allah.. makasih ya, Kak.. semoga Kakak juga segera sembuh dan ga
perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi” ujarnya tak lupa ditambah senyum
tulusnya.
Aku
melangkah ringan. Jauh lebih ringan dibanding ketika tadi pagi tiba di sini. Tadi,
aku berangkat dengan bersungut-sungut karena masih saja ada gangguan di
telingaku. Gangguan yang sepertinya berubah menjadi gangguan seluruh tubuhku
bahkan hari-hariku. Hanya karena sakit di salah satu bagian tubuhku, aku jadi
merasa seperti seluruh tubuhku ikut sakit. Aku tidak bersyukur. Harus kuakui
itu. Itulah yang membuatku jadi sebegitu merasa menderita. Aku lupa bahwa
bagian tubuhku yang sehat jauh lebih banyak dibandingkan yang sakit. Tersadar,
aku pun langsung beristigfar. Terima kasih Mita, sudah menyadarkanku untuk
lebih bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar